Apakah Cinta Merupakan Seni? - Erich Fromm

KuliahCinta
Langkah pertama yang harus diambil adalah menyadari bahwa cinta merupakan seni, sebagaimana kehidupan merupakan seni. Jika kita ingin belajar bagaimana mencintai, maka kita harus memulainya dengan cara yang sama sebagaimana kalau kita ingin mempelajari seni apa pun, semisal seni musik, seni lukis, seni pahat, seni medis, atau pun seni rekayasa.
Artikel di bawah ini diterjemahkan oleh Musa Mustika dari Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Perennial Classics, 2000), hlm. 1-6.

Apakah Cinta Merupakan Seni?

Apakah cinta merupakan seni? Kalau begitu, cinta memerlukan pengetahuan dan ikhtiar. Ataukah cinta itu sensasi menyenangkan yang dialami secara kebetulan, sesuatu yang ke dalamnya seseorang "jatuh" jika ia beruntung? Buku kecil ini didasarkan pada pernyataan pertama ["cinta merupakan seni"], walau tentunya mayoritas orang saat ini [1950-an] meyakini pernyataan kedua ["cinta itu sensasi"].

Orang-orang itu bukan berpikiran bahwa cinta tidak penting. Mereka haus akan cinta. Dengan tiada henti, mereka menonton berbagai film mengenai kisah cinta yang berakhir bahagia atau pun tidak bahagia. Mereka mendengar ratusan lagu yang tak bermutu tentang cinta. Akan tetapi, hampir tidak ada orang yang berpikiran bahwa ada sesuatu yang perlu dipelajari mengenai cinta.

Sikap aneh ini berakar pada beberapa alasan yang hingga kini cenderung dipertahankan. [Alasan pertama,] kebanyakan orang lebih memandang masalah cinta sebagai persoalan dicintai daripada sebagai persoalan mencintai atau kemampuan untuk mencintai. Karena itu, masalahnya bagi mereka adalah bagaimana agar dicintai, bagaimana agar bisa dicintai. Dalam memburu tujuan ini, mereka mengikuti beberapa jalur. Pertama, yang terutama ditempuh oleh pria, adalah menjadi sukses, menjadi kaya dan berkuasa, dalam batas-batas sosialnya. Kedua, yang terutama dijalani oleh wanita, adalah berpenampilan memukau, melalui perawatan tubuh, tatabusana, dan sebagainya. Cara-cara lain untuk menjadikan dirinya memukau, yang ditempuh oleh pria dan wanita, adalah mengembangkan sikap yang menyenangkan, percakapan yang menarik, suka menolong, sopan, tidak menjengkelkan. Diantara cara-cara untuk bisa dicintai ini, ada banyak yang sama dengan yang dijalani untuk menjadikan dirinya sukses, "[bagaimana] mendapat banyak sahabat dan mempengaruhi orang-orang". Sebenarnya, bagi kebanyakan orang di budaya kita, yang dimaksud dengan "bisa dicintai" itu pada dasarnya merupakan campuran antara menjadi populer dan memiliki dayatarik seksual.

Alasan kedua yang mendasari sikap bahwa tidak ada yang perlu dipelajari mengenai cinta adalah anggapan bahwa masalah cinta merupakan masalah obyek, bukan masalah kemampuan. Orang-orang berpikiran bahwa mencintai itu sederhana, tetapi yang sulit adalah mencari obyek yang tepat untuk saling dicintai. Sikap ini memiliki beberapa alasan yang berakar pada perkembangan masyarakat modern. Salah satu alasannya adalah perubahan besar-besaran yang terjadi pada abad keduapuluh mengenai pilihan "obyek cinta". Pada zaman Victorian, sebagaimana dalam banyak budaya tradisional, cinta itu biasanya bukan merupakan pengalaman personal spontan yang berlanjut ke perkawinan. Sebaliknya, perkawinan saat itu adalah ijab-kabul menurut adat--[yang diatur] oleh keluarga masing-masing atau oleh mak-comblang, atau tanpa bantuan perantara semacam itu. Pernikahan saat itu dilangsungkan berdasarkan pertimbangan sosial, sedangkan cinta dianggap akan berkembang segera sesudah perkawinan diselenggarakan. Baru pada beberapa generasi terakhir, konsep cinta romantis menjadi berlaku umum di dunia Barat. Di Amerika Serikat, walau pertimbangan adat tidak seluruhnya lenyap, orang-orang berbondong-bondong mencari "cinta romantis", mencari pengalaman personal percintaan yang diharapkan mengarah ke perkawinan. Konsep baru yang berupa kebebasan di dunia cinta ini pasti sangat meningkatkan pentingnya obyek cinta, yang berlawanan dengan pentingnya fungsi cinta.

Faktor ini berkaitan erat dengan salah satu ciri khas budaya kontemporer yang lainnya. Budaya kita seutuhnya berakar pada nafsu untuk membeli, pada ide pertukaran yang saling menguntungkan. Kebahagiaan manusia modern terletak pada gairahnya dalam memandangi etalase-etalase toko, pada aksinya dalam membeli semua yang dapat ia beli, baik secara tunai maupun kredit. Ia memandang orang-orang dengan cara serupa. Bagi pria, perempuan yang memukau merupakan [barang] berharga yang hendak ia "beli" dengan mahal. Bagi wanita, lelaki yang memukau merupakan [barang] berharga yang hendak ia "beli" dengan mahal. "Memukau" itu biasanya bermakna sebuah bungkusan cantik yang berisi karakter-karakter yang populer dan dicari-cari di pasar kepribadian. Karakter yang secara spesifik menjadikan seseorang memukau itu bergantung pada mode zaman, baik secara fisik maupun secara mental. Pada tahun 1920-an [di Amerika Serikat], gadis peminum dan perokok yang garang dan seksi dianggap memukau. Kini [1950-an], yang biasanya lebih didambakan ialah yang malu-malu kucing dan senang tinggal di rumah. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para lelaki harus agresif dan ambisius--kini [pada pertengahan abad ke-20] harus berwatak sosial dan toleran--agar menjadi "bungkusan" yang memukau. Bagaimanapun, perasaan jatuh cinta biasanya berkembang hanya di seputar komoditas-komoditas manusiawi semacam itu, sesuai dengan "dayabeli" masing-masing. Saya mencari penawaran; sang obyek seharusnya saya dambakan dari sudutpandang nilai sosialnya, dan seharusnya juga menginginkan saya pada saat yang sama, dengan mempertimbangkan aset dan potensi saya yang terlihat dan yang tersembunyi. Jadi, dua orang [saling] jatuh cinta ketika mereka merasa menemukan obyek terbaik yang tersedia di pasar, dengan mempertimbangkan "nilai jual" mereka sendiri. Seperti dalam pembelian real estate, potensi tersembunyi yang bisa berkembang itu seringkali memainkan peran penting dalam tawar-menawar ini. Pada suatu budaya yang sangat dikuasai oleh orientasi pasar, yang mengatur komoditas dan pasar tenaga kerja, sedangkan kesuksesan material merupakan nilai tertingginya, terdapat sedikit alasan untuk terkejut bahwa hubungan percintaan manusia mengikuti pola pertukaran yang sama.

Kekeliruan [alasan] ketiga, yang juga menimbulkan anggapan bahwa tidak ada yang perlu dipelajari mengenai cinta, terletak pada campur-aduknya pengertian antara pengalaman-awal "jatuh di dalam cinta" dan keadaan-permanen berada (atau mungkin lebih baik disebut "berdiri") di dalam cinta. Jika dua orang, yang sebelumnya asing satu sama lain (sebagaimana kita semua), tiba-tiba membiarkan robohnya dinding [pemisah] antara mereka berdua, lalu merasa dekat, merasa satu, maka momen kesatuan ini merupakan salah satu pengalaman hidup yang paling menggembirakan dan paling mengasyikkan. Ini semua lebih menakjubkan bagi orang-orang yang sebelumnya tertutup, terisolasi, tanpa cinta. Ajaibnya keintiman yang mendadak ini seringkali kian dahsyat bila disandingkan dengan, atau diawali dengan, dayatarik seksual dan pelampiasannya. Akan tetapi, sesuai dengan hakikatnya, tipe cinta ini tidak akan berlangsung lama. Kedua orang tersebut menjadi saling kenal. Keintiman mereka menjadi semakin kehilangan karakter ajaibnya. Pertentangan mereka, kekecewaan mereka, dan kebosanan mereka terhadap satu sama lain itu akhirnya membinasakan segala yang tersisa. Akan tetapi, pada mulanya, mereka tidak mengetahui semua ini: pada kenyataannya, mereka terlelap dalam ketergila-gilaan satu sama lain, demi bukti kedalaman cinta mereka, padahal ini mungkin hanya membuktikan betapa mereka sangat kesepian sebelumnya.

Sikap ini--bahwa tidak ada yang lebih mudah daripada mencintai--telah berlanjut menjadi pandangan umum mengenai cinta, kendati terdapat bukti yang berlimpah terhadap sikap sebaliknya. Hampir tidak ada aktivitas atau usaha yang diawali dengan harapan dan impian yang begitu dahsyat namun lambat-laun mengalami kegagalan sebagaimana cinta. Kalau kasus ini terjadi pada aktivitas lain, orang-orang lebih berhasrat untuk mengetahui sebab-musabab kegagalan itu, dan untuk mempelajari bagaimana mereka bisa melakukan aktivitas itu lagi dengan lebih baik--atau mereka menyerah dan tidak akan melakukannya lagi. Karena orang-orang tidak mau menyerah di dalam kasus cinta, kelihatannya cara yang memadai untuk mengatasi kegagalan cinta hanyalah memeriksa sebab-musabab kegagalannya, dan mulai mengkaji makna cinta.

Langkah pertama yang harus diambil adalah menyadari bahwa cinta merupakan seni, sebagaimana kehidupan merupakan seni. Jika kita ingin belajar bagaimana mencintai, maka kita harus memulainya dengan cara yang sama sebagaimana kalau kita ingin mempelajari seni apa pun, semisal seni musik, seni lukis, seni pahat, seni medis, atau pun seni rekayasa.

Langkah-langkah apa yang perlu diambil dalam mempelajari seni apa pun?

Proses pembelajaran seni dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama, penguasaan teori cinta; kedua, penguasaan praktek cinta. Kalau saya ingin mempelajari seni medis, saya mula-mula harus mengetahui fakta mengenai tubuh manusia dan mengenai berbagai penyakit. Bila saya memiliki semua pengetahuan teoretis ini, saya sama sekali tidak kompeten dalam seni medis. Saya akan menjadi master di seni ini hanya setalah banyak mempraktekkannya, sampai akhirnya hasil-hasil dari pengetahuan teoretis saya dan hasil-hasil dari praktek saya bercampur-baur menjadi satu--intuisi saya, esensi dari penguasaan seni apa pun. Namun, disamping dari mempelajari teori dan praktek, ada faktor ketiga yang diperlukan untuk menjadi seorang master dalam seni apa pun--penguasaan seni harus menjadi perhatian hakiki. Tidak boleh ada sesuatu yang lain di dunia yang lebih penting daripada seni. Ini berlaku untuk musik, medis, pahat--dan berlaku pula untuk cinta. Dan, mungkin di sini terletak jawaban atas pertanyaan mengapa orang-orang dalam budaya kita jarang berusaha untuk mempelajari seni mencintai, walau tak jarang mereka mengalami kegagalan [dalam cinta]. Kendati mendambakan cinta, hampir segala sesuatu yang lain dianggap lebih penting daripada cinta: kesuksesan, gengsi, uang, kekuasaan--hampir semua energi kita dicurahkan untuk mempelajari bagaimana mencapai tujuan-tujuan ini, dan hampir tidak ada yang mempelajari seni mencintai.

Mungkinkah bahwa yang layak dipelajari hanyalah yang dapat menghasilkan uang atau gengsi? Apakah cinta, yang "hanya" menguntungkan jiwa, tetapi kurang menguntungkan dalam pengertian modern, merupakan kemewahan yang tidak berhak untuk mendapat curahan energi kita? Kalau pun begitu, pembahasan selepas ini akan memperlakukan seni mencintai dalam pengertian divisi-divisi terdahulu: pertama, saya akan membahas teori cinta--dan ini akan merupakan bagian terbesar dari buku ini; dan kedua, saya akan membahas praktek cinta--sedikit [saja] sebagaimana dapat dikatakan mengenai praktek di dalam cinta, sebagaimana di segala bidang lain.
© Terjemah Indonesia 2012 Musa Mustika.